ANTIBODI MONOKLONAL
Antibodi merupakan campuran protein di dalam darah dan disekresi mukosa
menghasilkan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing yang masuk ke
dalam sirkulasi darah. Antibodi dibentuk oleh sel darah putih yang disebut
limfosit B. Limfosit B akan mengeluarkan antibodi yang kemudian diletakkan pada
permukaannya. Setiap antibodi yang berbeda akan mengenali dan mengikat hanya
satu antigen spesifik. Antigen merupakan suatu protein yang terdapat pada
permukaan bakteri, virus dan sel kanker. Pengikatan antigen akan memicu
multiplikasi sel B dan penglepasan antibodi. Ikatan antigen antibodi
mengaktivasi sistem respons imun yang akan menetralkan dan mengeliminasinya.
Antibodi memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran walaupun struktur dasarnya
berbentuk `Y`(gambar 1). Antibodi tersebut mempunyai 2 fragmen, fragmen antigen
binding Fab dan fragmen cristallizable Fc.Fragmen antigen binding Fab digunakan
untuk mengenal dan mengikat antigen spesifik, tempat melekatnya antigen
antibodi yang tepat sesuai regio yang bervariasi disebut complementary
determining region (CDR) dan Fc berfungsi sebagai efektor yang dapat
berinteraksi dengan sel imun atau
protein serum.
Gambar 1. Model antibodi
Antibodi monoklonal adalah antibodi buatan identifik karena diproduksi
oleh salah satu jenis sel imun saja dan semua klonnya merupakan sel single
parent. Antibodi monoklonal mempunyai sifat khusus yang unik yaitu dapat
mengenal suatu molekul, memberikan informasi tentang molekul spesifik dan
sebagai terapi target tanpa merusak sel sehat sekitarnya. Antibodi monoklonal
murni dapat diproduksi dalam jumlah besar dan bebas kontaminasi. Antibodi
monoklonal dapat diperoleh dari sel yang dikembangkan di laboratorium, reagen
tersebut sangat berguna untuk penelitian terapi dan diagnostik laboratorium.
Antibodi monoklonal dapat diciptakan untuk mengikat antigen tertentu
kemudian dapat mendeteksi atau memurnikannya. Manusia dan tikus mempunyai
kemampuan untuk membentuk antibodi yang dapat mengenali antigen. Antibodi
monoklonal tidak hanya mempertahankan tubuh untuk melawan organisme penyakit
tetapi juga dapat menarik molekul target lainnya di dalam tubuh seperti
reseptor protein yang ada pada permukaan sel normal atau molekul yang khas
terdapat pada permukaan sel kanker. Spesifisiti antibodi yang luar biasa
menjadikan zat ini dapat digunakan sebagai terapi. Antibodi mengikat sel kanker
dan berpasangan dengan zat sitotoksik sehingga membentuk suatu kompleks yang dapat
mencari dan menghancurkan sel kanker. Antibodi monoklonal mempunyai 4 jenis
(gambar 2) yaitu:
1.
Murine, murni didapat dari tikus dapat
menyebabkan human anti mouse antibodies (HAMA) nama akhirannya ″moma”
2.
Chimeric, gabungan Fc antibodi human dan Fab
antibodi monoklonal tikus nama akhirannya ″ximab″
(rituximab).
3.
Humanized, hanya sebagian kecil Fab antibodi
tikus yang digabungkan dengan antibodi human (95-98%) nama akhirannya ″zumab”
4.
Fully human, keseluruhan
antibodi human nama akhirannya ″mumab″ (adalimumab).
Gambar 2. Jenis antibodi
monoklonal
PEMBUATAN
ANTIBODI MONOKLONAL
KÅ‘hler dan Milstein menjelaskan bagaimana caranya mengisolasi dan
mengembangkan antibodi monoklonal murni spesifik dalam jumlah banyak yang
didapat dari campuran antibodi hasil respons imun. Tikus yang telah diimunisasi
dengan antigen khusus ke dalam sumsum tulang akan menghasilkan sel limfosit B
yang memiliki masa waktu hidup terbatas
dalam kultur, hal ini dapat diatasi dengan cara menggabungkan dengan sel
limfosit B tumor (myeloma) yang abadi. Hasil campuran heterogen sel hybridomas
dipilih hybridoma yang memiliki 2 kemampuan yaitu dapat menghasilkan antibodi
khusus dan dapat tumbuh di dalam kultur. Hybridoma ini diperbanyak sesuai klon
individualnya dan setiap klon hanya menghasilkan satu jenis antibodi monoklonal
yang permanen dan stabil. Hybridoma yang berasal dari satu limfosit akan
menghasilkan antibodi yang akan mengenali satu jenis antigen. Antibodi inilah
yang dikenal sebagai antibodi monoklonal (gambar 3).
Proses pembuatan
antibodi monoklonal melalui 5 tahapan yaitu :
1.
Imunisasi tikus dan seleksi tikus donor untuk
pengembangan sel hybridoma Tikus diimunisasi dengan antigen tertentu untuk
menghasilkan antibodi yang diinginkan. Tikus dimatikan jika titer antibodinya
sudah cukup tercapai dalam serum kemudian limpanya digunakan sebagai sumber sel
yang akan digabungkan dengan sel myeloma.
2.
Penyaringan produksi antibodi tikus Serum
antibodi pada darah tikus itu dinilai setelah beberapa minggu imunisasi. Titer
serum antibodi ditentukan dengan berbagai macam teknik seperti enzyme link
immunosorbent assay(ELISA) dan flow cytometry. Fusi sel dapat dilakukan bila
titer antibodi sudah tinggi jika titer masih rendah maka harus dilakukan
booster sampai respons yang adekuat
tercapai. Pembuatan sel hybridoma secara in vitro diambil dari limpa tikus yang
dimatikan.
3.
Persiapan sel myeloma Sel myeloma yang didapat
dari tumor limfosit abadi tidak dapat tumbuh jika kekurangan hypoxantine
guanine phosphoribosyl transferase (HGPRT) dan sel limpa normal masa hidupnya
terbatas. Antibodi dari sel limpa yang memiliki masa hidup terbatas menyediakan
HGPRT lalu digabungkan dengan sel myeloma yang hidupnya abadi sehingga
dihasilkan suatu hybridoma yang dapat tumbuh tidak terbatas. Sel
myelomamerupakan sel abadi yang dikultur dengan 8 azaguanine sensitif terhadap
medium seleksi hypoxanthine aminopterin thymidine (HAT). Satu minggu sebelum
fusi sel, sel myeloma dikultur dalam 8 azaguanine. Sel harus mempunyai
kemampuan hidup tinggi dan dapat tumbuh cepat. Fusi sel menggunakan medium HAT
untuk dapat bertahan hidup dalam kultur.
4.
Fusi sel myeloma dengan sel imun limpa Satu sel
limpa digabungkan dengan sel myeloma yang telah dipersiapkan. Fusi ini
diselesaikan melalui sentrifugasi sel limpa dan sel myeloma dalam polyethylene
glycol suatu zat yang dapat menggabungkan membran sel. Sel yang berhasil
mengalami fusi dapat tumbuh pada medium khusus. Sel itu kemudian
didistribusikan ke dalam tempat yang berisi makanan, didapat dari cairan
peritoneal tikus. Sumber makanan sel itu menyediakan growth factor untuk
pertumbuhan sel hybridoma.
5.
Pengembangan lebih lanjut kloning sel hybridoma
Kelompok kecil sel hybridoma dapat dikembangkan pada kultur jaringan dengan
cara seleksi ikatan antigen atau dikembangkan melalui metode asites tikus.
Kloning secaralimiting dilution akan memastikan suatu klon itu berhasil. Kultur
hybridoma dapat dipertahankan secara in vitro dalam tabung kultur (10-60 ug/ml)
dan in vivo pada tikus, hidup tumbuh di dalam suatu asites tikus. Konsentrasi
antibodi dalam serum dan cairan tubuh lain 1-10 ug/ml.
Gambar 3. Pembuatan antibodi monoclonal
MEKANISME KERJA
ANTIBODI MONOKLONAL
Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk meningkatkan
efek sitotoksik sel tumor. Mekanisme komponen sistem imun adalah antibody
dependent cellular cytotoxicity (ADCC), complement dependent cytotoxicity
(CDC), mengubah signal transduksi sel tumor atau menghilangkan sel permukaan
antigen. Antibodi dapat digunakan sebagai target muatan (radioisotop, obat atau
toksin) untuk membunuh sel tumor atau mengaktivasi prodrugdi tumor, antibody
directed enzyme prodrug therapy (ADEPT). Antibodi monoklonal digunakan secara
sinergis melengkapi mekanisme kerja kemoterapi untuk melawan tumor.
Antibody
dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
Antibody
dependent cellular cytotoxicity (ADCC) terjadi jika antibodi mengikat antigen
sel tumor dan Fc antibodi melekat dengan reseptor Fc pada permukaan sel imun
efektor. Interaksi Fc reseptor ini berdasarkan kemanjuran antitumor dan sangat
penting pada pemilihan suatu antibodi monoklonal. Sel efektor yang berperan
masih belum jelas tapi diasumsikan sel fagosit mononuklear dan atau natural
killer (NK). Struktur Fc domain dimanipulasi untuk menyesuaikan jarak antibodi
dan interaksi dengan Fc reseptor. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
dapat meningkatkan respons klinis secara langsung menginduksi destruksi tumor
melalui presentasi antigen dan menginduksi respons sel T tumor. Antibodi
monoklonal berikatan dengan antigen permukaan sel tumor melalui Fc reseptor
permukaan sel NK. Hal ini memicu penglepasan perforin dan granzymes untuk
menghancurkan sel tumor (gambar 5a). Sel - sel yang hancur ditangkap antigen
presenting cell (APC) lalu dipresentasikan pada sel B sehingga memicu
penglepasan antibodi kemudian antibodi ini akan berikatan dengan target antigen
(gambar 5b-d). Sel cytotoxic T lymphocytes (CTLs) dapat mengenali dan membunuh
sel target antigen (gambar 5d).4,10
Gambar
5. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
Complement
dependent cytotoxicity (CDC)
Pengikatan antibodi monoklonal dengan antigen permukaan sel akan
mengawali kaskade komplement. Complement dependent cytotoxicity (CDC) merupakan
suatu metode pembunuh sel tumor yang lain dari antibodi. Imunoglobulin G1 dan
G3 sangat efektif pada CDC melalui jalur klasik aktivasi komplemen (gambar 6a).
Formasi kompleks antigen antibodi merupakan komplemen C1q berikatan dengan IgG
sehingga memicu komplemen protein lain untuk mengawali penglepasan proteolitik
sel efektor kemotaktik / agen aktivasi C3a dan C5a (gambar 6b). Kaskade komplemen
ini diakhiri dengan formasi membrane attack complex (MAC) (gambar 6c) sehingga
terbentuk suatu lubang pada sel membran. Membrane attack complex (MAC)
memfasilitasi keluar masuknya air dan Na++ yang akan menyababkan sel target
lisis (gambar 6d).4,10
Gambar
6. Complement-dependent cytotoxicity (CDC)
Perubahan
transduksi signal
Reseptor
growth factor merupakan suatu antigen target tumor, ekspresinya berlebihan pada
keganasan. Aktivasi transduksi signal pada kondisi normal akan menginduksi
respons mitogenik dan meningkatkan kelangsungan hidup sel, hal ini diikuti
dengan ekspresi perkembangan sel tumor yang berlebihan yang juga menyebabkan
tumor tidak sentitif terhadap zat kemoterapi. Antibodi monoklonal sangat
potensial menormalkan laju perkembangan sel dan membuat sel sensitif terhadap
zat sitotoksik dengan menghilangkan signal reseptor ini. Target antibodi EGFR
merupakan inhibitor yang kuat untuk transduksi signal. Terapi antibodi
monoklonal memberikan efek penurunan densiti ekspresi target antigen contohnya
penurunan konsentrasi EGFR permukaan sel tumor atau membersihkan ligan seperti
VEGF. Pengikatan ligand reseptor growth factor memicu dimerisasi dan aktivasi
kaskade signal (gambar 7a) sehingga terjadi proliferasi sel dan hambatan
terhadap zat sitotoksik (gambar 7b). Antibodi monoklonal menghambat signal
dengan cara menghambat dimerisasi atau mengganggu ikatan ligand (gambar 7c).
Gambar
7. Perubahan transduksi signal
Imunomodulasi
Beberapa percobaan menunjukkan antibodi yang langsung melawan cytotoxic T
lymphocyte antigen 4 (CTLA 4) terbukti dapat menginduksi regresi imun. Pola
toksisiti yang diteliti pada uji klinis memperlihatkan hubungan perlekatan CTLA
4 dengan ligand dapat menginduksi respons autoimun, hal ini terlihat pada
aktivasi sel T dependent. Gabungan antibodi antiCTLA 4 dengan antibodi
monoklonal menginduksi ADCC, kemoterapi sitotoksik atau radioterapi sehingga
dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen spesifik tumor.
Penghantaran
muatan sitotoksik
Antibodi monoklonal pada terapi kanker
akan melawan target sel tumor dengan cara mengikat sel spesifik tumor dan
menginduksi respons imun. Antibodi monoklonal telah digunakan secara luas dalam
percobaan sebagai zat sitotoksik sel - sel tumor. Modifikasi antibodi
monoklonal dilakukan dengan tujuan sebagai zat penghantar radioisotop, toksin
katalik, obat – obatan, sitokin, enzim atau zat konjugasi aktif lainnya. Pola
antibodi bispesifik pada kedua bagian Fab memungkinkan untuk mengikat target
antigen dan sel efektor.
Antibodi
directed enzyme prodrug therapy (ADEPT)
Antibodi directed enzyme prodrug
therapy (ADEPT) menggunakan antibodi monoklonal sebagai penghantar untuk sampai
ke sel tumor kemudian enzim mengaktifkan prodrug pada tumor, hal ini dapat
meningkatkan dosis active drug di dalam tumor. Konjugasi antibodi monoklonal
dan enzim mengikat antigen permukaan sel tumor (gambar 7a) kemudian zat
sitotoksik dalam bentuk inaktif prodrug akan mengikat konjugasi antibodi
monoklonal dan enzim permukaan sel tumor (gambar 7b-c) akhirnya inaktivasi
prodrug terpecah dan melepaskan active drug di dalam tumor (gambar 7d).
Gambar
7. Antibodi directed enzyme prodrug therapy (ADEPT)
Daftar Pustaka
http://www.klikpdpi.com/jurnal-warta/jri-01-07/jurnal-7.html
diakses pada 28 maret 2012
No comments:
Post a Comment